Jumat, 08 Mei 2020

Mengkritisi Tindakan Pemerntah di Tengah Pandemi COVID-19

Sumber:https://images.app.goo.gl/MiLBTGMS2be4sgTY9

M
asa-masa kelam dunia terjadi beberapa bulan terakhir disebabkan oleh pandemi covid-19. Corona Virus Disease pertama kali dideteksi dan ditemukan di kota Wuhan, China. Karena penyebaran virus yang masif maka WHO sebagai organisasi kesehatan dunia pun mengumumkan bahwa virus corona ini termasuk kategori virus pandemi melalui direktur jendral WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus; Direktur jenderal WHO tersebut mengkhawatirkan penyebaran dan tingkat keparahan wabah ini.
“Menggambarkan situasi sebagai pandemi tidak mengubah penilaian WHO terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh  virus corona ini. Itu tidak mengubah apa yang harus dilakukan oleh negara”, tambahnya. (11/3) di Genewa (cnnindonesia.com).
        Melihat bahwa wabah pandemi corona ini penyebarannya cepat bagai kilat, secara responsif negara-negara di dunia yang terdampak pun langsung menerapkan lockdown. Terkecuali Indonesia. Saat negara-negara di dunia menerapkan lockdown; justru pada saat itu Indonesia belum juga mengambil sikap, dengan dalih “corona tidak akan bisa hidup dan berkembang di negara tropis”, “Masyarakat kita kuat maka tidak perlu khawatir terhadap corona”, dst. Begitulah beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh pejabat publik di Indonesia.
Virus corona pun tersebar di Indonesia,dua warga depok, Jawa Barat sekaligus sebagai orang yang pertama kali terdampak virus tersebut. Setelah itu pasien-pasien virus corona pun bertebaran di rumah sakit dan banyak yang meregang nyawa disebabkan oleh virus tersebut.
Per-tanggal 07 Mei 2020, data warga Indonesia yang terjangkit virus corona adalah : positif, 12776 orang; Sembuh, 2381 ; Meninggal, 930. (www.covid-19.go.id)
       Hemat penulis, pemerintah kurang responsif terhadap virus ini; sehingga puluhan ribu kasus terjadi dan ratusan orang yang harus meregang nyawa. Jika saja pemerintah bersikap responsif terhadap wabah pandemi ini maka penulis yakin tidak akan sebanyak itu kasus yang terjadi.
Di tengah pandemi, pemerintah justru mementingkan efektivitas dari kartu pra-kerja dibanding bantuan langsung tunai atau bantuan sembako kepada masyarakat yang terlihat lambat dalam pendistribusiannya. Yang menurut pemerintah ini sebuah terobosan, justru insyaf penulis ini merupakan kegagapan dari pemerintah. Karena pemerintah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membayar kerja sama dengan perusahaan-perusahaan penyelenggara pelatihan pra-kerja. Bagi teman-teman aktivis ini di pandang sebagai bentuk kepentingan kelompok elite atau birokrat yang menjurus kepada pemerintahan yang oligarki.
Dan yang lebih ironis banyak daerah-daerah yang telah menerapkan PSBB; namun bantuan untuk masyarakat belum juga didapat. Padahal jika kita merujuk pada PP No.21 Tahun 2020 dalam pembatasan sosial berskala besar pemerintah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Di mana dalam UU tersebut termaktub, selama karantina wilayah (PSBB) kebutuhan hidup dasar orang dan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat bersama pemerintah daerah.
         Pemerintah menyamarkan kata “karantina wilayah” dengan pembatasan sosial berskala besar; secara penafsiran gramatikal kata tersebut memiliki arti yang sama. Padahal dalam UU No. 6 Tahun 2018 juga yang termaktub adalah karantina wilayah bukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jelas tergambarkan kegagapan pemerintah dalam penanganan dan penanggulan pandemi covid-19 atau mungkin disengaja untuk menghindari tanggung jawab kepada masyarakat seperti yang termaktub dalam Pasal 55 UU No.6 Tahun 2018.
         Pada akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa pemerintah sangat tidak responsif dan akomodatif. Pemerintah terlalu mementingkan ekonomi bahkan kepentingan kelompok elite tertentu dibanding nyawa. Sebagai penutup, Max Weber pernah menuliskan dalam bukunya Democracy and Modernization, kurang lebih bunyinya : “setiap penguasa dipilih oleh rakyat, dan setelah penguasa terpilih; rakyat tetap harus tunduk dan patuh terhadap penguasa”.    

Oleh : Adam Andriantama Bayu Aji ( Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang & Anggota Bidang Kajian dan Akademis HIMA FH UNPAM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar